Hari ini hari Minggu. Hari bersenang-senang untukku. Hari dimana aku bisa berlama-lama diam di kamar, menatap layar monitor dan berbincang dengan banyak orang secara virtual. Tak perlu keluar suara, tak perlu banyak ekspresi di muka. Hanya suara ketukan keyboard yang seolah mengganti mulut untuk berbahasa. Ah Tuhan, mungkinkah tangan berbicara pun sudah muncul tanda-tandanya sekarang?
Sudah lebih dari satu jam aku menjelajah dunia maya. Punggungku sakit, leherku apalagi. Kumatikan segera komputer jinjing yang sedari tadi menyala. Tujuanku hanya satu, tempat tidur. Kemana lagi? Hari Minggu itu asyik untuk dinikmati sendiri, bukan?
Aku merebahkan badan. Namun tanganku masih tak bisa diam. Tangan kananku menggenggam ponsel dan mulai menelisik banyak fitur yang ada disana.
"PING"
Bunyi khas salah satu aplikasi pengirim pesan terdengar. Tanda bintang merah muncul menandakan ada sesuatu yang baru di aplikasi itu. Seperti sudah terlatih, jempol kananku bergerak cepat. Seakan paham empunya ingin segera tahu berita baru apa yang ada disana.
Ternyata pemberitahuan itu datang dari sebuah grup yang aku ikuti. Grup bincang-bincang ringan dengan teman-teman yang ada jauh disana. Sebuah foto telah terkirim siang ini. Foto tiga orang pria yang asing bagiku. Dua orang dari mereka berkaos oblong, bercelana jeans dan memakai sandal. Seorang yang lain menggunakan jaket merah merk ternama dan juga menggunakan celana jeans dan kakinya beralaskan sandal. Tak ada yang istimewa, kecuali keterangan foto yang menyertainya.
"Perjuangan Istora. Ah, gue merasa berharga."
Dahiku mengerut. Apa hubungannya?
"Ada cerita yang belum terceritakan nih," komentarku ringan.
Saling ledek segera terjadi antara kami. Tiba-tiba orang yang mengunggah foto itu menyapaku secara personal. Bertegur sapa dan bercanda tak penting seperti yang selalu kami lakukan. Ceritanya mengalir deras. Aku tak menyangka ada cerita unik dibalik foto itu. Foto yang membuatku berpikir mungkin temanku berbakat menjadi salah satu pemeran wanita FTV di Indonesia.
***
"Kita putus! PUTUS!" teriakku kesal.
"Oke," ujar lelaki itu sama kesalnya denganku.
Amarahku sudah tak terbendung. Hal kecil membuat semua kekesalan mengembung. Hubungan kami kembali putus dan entah kapan kembali bersambung. Aku pergi sambil menahan tangis, walau sebenarnya aku masih bingung.
Gilang, itu nama lelaki itu. Lelaki yang kukenal sejak duduk di bangku SMA. Lelaki yang dekat denganku karena ejekan (sebut saja itu dukungan) dari teman-temannya. Lelaki yang sempat membuatku merasa menjadi wanita paling spesial di dunia.
Sore itu memang akumulasi dari konflik kecil yang terjadi diantara kami. Padahal sebelumnya kami sempat pergi untuk menonton film terbaru di salah satu bioskop di ibukota. Sebelum masuk ke bioskop, Gilang mengajakku masuk ke sebuah toko. Ia menghampiri sebuah jaket merah, memegang bahan jaket itu lalu melihat bandrol harga.
"Ah, masih mahal. Nanti lagi deh," katanya pelan.
Tak lama kemudian ia mengajakku keluar dan langsung berjalan menuju bioskop.
Aku diam saja melihat tingkah lelakiku itu. Diam-diam kutandai jaket merah yang ia hampiri tadi. Dalam hatiku berjanji, benda itu akan kuberikan di acara paling spesial bagi Gilang.
Tapi kini hubungan kami sudah berakhir. Aku bukan siapa-siapa dan Gilang juga bukan siapa-siapa. Kami hanya teman yang dulu pernah menjadikan satu sama lain sebagai orang yang istimewa. Lupakan. Ya, aku harus melupakannya.
Waktu berlalu, sudah setelah kejadian itu. Ternyata tak mudah membuatnya hilang dari ingatanku. Alur cerita cintaku dengannya memang tidak wajar. Seperti yang tadi kubilang, kami dekat karena ejekan teman. Kami sempat bersama selama empat bulan purnama. Lalu kemudian berpisah karena aku terlalu kekanak-kanakan dan ia terlalu sibuk dengan pelbagai kegiatannya. Setelah putus beberapa saat, akhirnya kami kembali dekat. Kami dekat selama setahun, namun baru bersama di bulan terakhir. Dan kini, semua cerita cinta yang bagiku tidak picisan itu lagi-lagi harus kandas di tengah jalan.
Melupakan? Aku sudah mencoba melupakannya. Tapi apa yang bisa aku lupakan jika keseharianku ternyata berkutat pada manusia bernama Gilang? Aku sudah terbiasa dengan keberadaannya, kealpaannya disekitarku membuatku kembali harus beradaptasi dengan ekstra energi.
Tiba-tiba ingatanku tentang tingkah konyol dan berbagai hal yang kulalui dengannya berkeliaran di kepala. Sial. Benarkah aku tak bisa lupa? tanyaku pada diriku sendiri.
Aku teringat dengan jaket merah yang ia inginkan sehari sebelum kami bertengkar hebat. Entah ada angin atau bisikan dari setan jenis apa akhirnya aku kembali ke toko itu dan mendapati barang yang diinginkannya masih terpajang manis disana. Aku berpikir ulang. Haruskah aku membeli barang ini untuknya? Bagaimana bila aku terlihat seperti orang bodoh di depannya? Bagaimana jika ia menolak pemberianku mentah-mentah? Bagaimana jika...... Ah ya, anggap saja ini penunaian janji yang dulu sempat kupegang dalam hati.
"Mbak, yang ini deh," kataku kepada pramuniaga toko tersebut.
Aku ingat jelas, bulan itu adalah bulan Oktober. Dua bulan setelah kita saling kesal dan memutuskan untuk mengakhiri semuanya. Tapi hal yang lebih kuingat adalah acara spesial yang kau idam-idamkan di bulan Desember.
Entah bodoh atau apalah namanya, aku tak mengerti diriku sendiri saat itu. Kukumpulkan berbagai informasi yang berkaitan dengan pagelaran besar yang akan kau datangi di bulan Desember. Mulai dari detail tempat, jam hingga berbagai hal tak penting yang menurutku bisa menjadi informasi pendukung kukumpulkan dari berbagai sumber. Mungkin, jika kutemukan akses untuk menggali informasi lebih lanjut, aku akan bertanya siapa saja yang mungkin akan hadir disana.
Gila? Kau pikir aku gila? Ya, akupun berpikir begitu.
Aku bukan wanita tuna cinta yang mengais-ais perhatian dari lelaki dengan membawa barang yang diinginkannya. Aku hanya menunaikan janjiku pada diriku sendiri. Setidaknya jika itu sudah kulakukan maka aku akan merasa lebih tenang.
Bulan demi bulan berlalu. Bulan Desember datang menyapaku. Fokusku buyar. Kepalaku dipenuhi banyak hal yang tak pernah kupikirkan sebelumnya. Sialnya, di bulan itu aku cukup sibuk dengan berbagai rapat koordinasi dari organisasi yang kuikuti.
"Vin, lo bisa temenin gue kan? Tapi gue ada rapat di Salemba sampai jam 12.00. Kita janjian dimana?" tanyaku pada Vina, teman dekatku.
Vina menyebutkan sebuah tempat dan memastikan bahwa ia memang akan menemuiku disana di waktu yang telah kita janjikan.
Naas, hujan badai melanda Jakarta....
0 comments:
Post a Comment