Saturday, July 11, 2020

Berkembang


Di awal pertama kali bekerja, saya selalu berpikir bahwa berkembang itu hanya tentang skill. Bertambahnya kemampuan, koneksi dan keterampilan dalam melakukan sesuatu. Suatu hari saya dikirim ke luar negeri untuk training. Ketika saya pulang, rasanya cukup terkejut kalau banyak orang beranggapan gaji saya akan naik drastis. Padahal, bertambahnya skill, belum tentu bisa menambah pemasukan (walaupun idealnya demikian).

Hidup semakin lama semakin sulit, adik saya bertambah lagi yang kuliah. Jadi penghasilan yang disisihkan untuk keluarga lebih banyak lagi, sedangkan pemasukan masih segitu-gitu saja. Lalu saya bertemu dengan beberapa rekan kerja yang setiap harinya selalu mengeluhkan tentang gaji. Sialnya, saya terkontaminasi. Setiap hari jadi merutuk. Setiap hari serasa semakin membusuk.

Hingga suatu saat, saya merasa tidak nyaman dengan diri saya sendiri. What's wrong with me?

Rasanya ada yang salah dari apa yang saya pikirkan tentang berkembang dan gaji. Saya rasa saya bukan pohon yang terus menerus merutuk tapi tidak bisa mengubah apa yang saya ubah. Lalu saya mencoba mencari pekerjaan lain. Datanglah hari itu, hari dimana saya dapat offering dari perusahaan lain. Kenaikannya cukup signifikan, 40% dari gaji yang sekarang. Pastinya penawaran tersebut juga plus minus ya. Ada yang kurang, ada juga yang lebih. Saya mengajukan resign. Tapi atasan saya melakukan counter offer dan menurut saya itu menarik. Menarik karena selain gaji saya naik, saya juga akan dilibatkan dalam berbagai project di lokal maupun regional, sesuatu yang saya pernah saya dapatkan dulu namun berhenti beberapa saat.



Lalu saya pindah lokasi kerja ke Jakarta. Tidak ada rekan-rekan yang setiap hari saya dengar misuh-misuh karena merasa gajinya terlalu lusuh. Hidup saya lebih tenang. Walaupun saya tahu apa yang saya dapatkan sekarang dibawah standar Jakarta pada umumnya. Tapi saya merasa lebih bersyukur. Entah karena gaji yang menurut saya sudah cukup (walaupun tidak besar) atau karena saya sekarang seatap dengan suami atau karena saya tak mendengar keluh kesah yang membuat saya resah. Saya tidak tahu alasannya.

Pindahnya saya ke Jakarta, diiringi dengan banyaknya perubahan organisasi di kantor di Bandung di kemudian hari. Banyak orang yang di-counter offer, dipromosikan dan juga diperluas area kerjanya. Rata-rata orang-orang tersebut adalah orang yang saya kenal dan tak segan bercerita bahkan bertengkar. Sejak pergantian role dan tentunya besaran nominal gaji yang mereka dapatkan, mereka cenderung lebih menerima perusahaan dengan baik. Kasarnya, mereka jadi tidak lagi misuh-misuh karena gaji yang lusuh. Ah, mungkin gaji memang mempengaruhi sikap seseorang kepada perusahaan.

Tapi agak berbeda dengan suami saya. Ia misuh-misuh bukan karena gajinya lusuh, tapi karena ia merasa semakin bodoh. Ia merasa bahwa dirinya selalu mengerjakan hal-hal yang sama dan tidak berkembang secara keterampilan. Kami merasa bahwa uang yang ia dapatkan dari pekerjaan cukup untuk kehidupan kami, tapi pekerjaannya tidak bisa memenuhi 'kehausannya' dalam menerima tantangan, kesulitan dan perkembangan cara berpikir. Over-rewarded, mungkin itu bahasa kerennya. Suami saya mencari pekerjaan lagi dengan tujuan keterampilan dan kemahirannya bertambah. Ia takut jika dengan ketimpangan yang terjadi antara pendapatan dan keterampilan tersebut membuatnya tidak kompetitif di kemudian hari. Menarik juga.

Satu sisi saya 'besar' dalam kondisi kerja dimana orang-orang merasa skill mereka mumpuni dan berbanding negatif dengan pemasukan yang mereka terima. Di sisi lain orang terdekat saya malah merasa pemasukannya lebih besar daripada pekerjaan dan skill yang dibutuhkan untuk pekerjaan tersebut. Keduanya sama-sama tak puas. Keduanya sama-sama misuh-misuh.

Lalu saya berasumsi bahwa berkembang bukan saja dari segi keterampilan, tapi juga pendapatan. Namun bukan hanya pendapatan, tapi juga keterampilan. Saat ini saya merasa pendapatan saya setara dengan keterampilan. Tidak besar, tidak kecil. Cukup saja. Tapi apa serunya jika tidak berkembang?

Dibandingkan terus berharap gaji naik dengan skill yang tetap sama, akhirnya saya memutuskan untuk mengembangkan skill saya terlebih dahulu agar lebih laku di pasar kerja. Siapa tahu kan kapan-kapan bisa jadi karyawan dari reputable companies? Who knows!

Jakarta, 11 Juli 2020
Read More

Thursday, June 11, 2020

Siklus Rekrutmen & Seleksi


Sebagai seorang Rekruter, seringkali keluarga saya bingung dengan pekerjaan yang saya lakukan.

"Teh, ai kerjaan teteh teh apa?" tanya adik saya.
"Ya, banyak," jawab saya singkat.
"Iya ngapain aja itu teh?" tanyanya lagi.
"Nyeleksi orang yang mau masuk kerja salah satunya," jawab saya berharap tak ada pertanyaan lagi.
"Wah, enak dong. Kan yang mau kerja banyak. Tinggal pilih. Udah deh selesai kerjaannya," komentarnya.

Matamu enak.

Buat kamu-kamu yang tidak pernah terbayang kerjaan Rekruter, mari sini saya ceritakan sedikit. Siklus rekrutmen dimulai jika ada permintaan atau kebutuhan penambahan orang di perusahaan. Bisa saja penambahan orang, bisa juga penggantian. Tidak semua orang yang meminta penambahan pekerja itu benar-benar tahu apa yang mereka inginkan.

"Ki, cari yang pinter ya," pinta seorang atasan.
"Pinter itu definisinya gimana, bu?" tanya saya.
"Yang cerdas gitu. Ada inisiatifnya. Gak diam saja kalau ada masalah. Aktif bertanya kalau mereka gak tahu. Berani salah." jawabnya panjang lebar.
"Emm..bu, itu bukan pinter. Itu inisiatif, problem solver, communicative and willing to learn new things," celetuk saya.
"Ah, sama aja!"

Bayangkan orang seperti ini gak cuma satu dua, sayangku. Banyak yang minta klasifikasi A, dikasih yg A- gak mau, dikasih A+ ketinggian expected salarynya. Pusing akutu.

Setelah adanya permintaan dari atasan, lalu saya mempublikasikan lowongan. Dalam satu lowongan, bisa jadi ada 1000 orang yang mendaftar. Saya gak bohong, Ferguso. Ada seribu orang yang daftar. Bahkan ada yang nembus 1 lowongan 2500 aplikasi. Gak kebayang sih sama perusahaan sekelas Unilever, Google, dll. Berapa banyak aplikasi yang masuk ke mereka setiap harinya. Bisa-bisa mabok oe kalo handle sendiri. Haha.

Itu baru pelamar, belum yang shortlisted atau terpilih dari tampilan CV yang mereka miliki. Lalu belum lagi pelamar titipan dari lingkungan sekitar. Ada titipan Pak RT lah, titipan Pak Lurah lah, titipan manager PT sebelah lah, titipan Disnaker lah, titipan anu, itu dan sebagainya.

Saya pernah di SMS oleh Pak RT sekitar pabrik saat ada kandidat yang ditolak karena tidak sesuai dengan kualifikasinya.

"SALAM. SAYA KETUA RT 001 DARI DS. XXX TEMPAT DIMANA PABRIK ANDA BERDIRI. KENAPA XXX TIDAK LOLOS SELEKSI? ANDA ITU HARUS SADAR KALAU ANDA PENDATANG! HATI-HATI YA ANDA!"

Gak persis gitu sih SMSnya, tapi ya kurang lebih begitu. Lalu teman saya ada yang didatengin ke kontrakan dan ditawari besaran sejumlah uang untuk meloloskan salah satu kandidat. Tindakan yang sangat melukai sisi integritas yang kami pegang teguh-teguh. Tapi itulah yang terjadi.

Dari sekian banyak kandidat itu, saya sortir berdasarkan apa yang mereka tampilkan di CV. Itulah sebabnya CV yang baik dan jelas itu penting. Gak harus alay atau heboh desain segala rupa. Yang penting jelas isinya. Jelas apa yang dikerjakannya dan bisa ditemukan kesamaannya dengan apa yang kita butuhkan di perusahaan. Kalau gak diminta portofolio ya gak usah ngemodal banyak-banyak untuk bikin portofolio fisik. Nanti malah ngutruk udah modal gede-gede kok gak diterima. Cari cara melamar kerja yang membutuhkan sedikit modal awal seperti kertas, amplop, fotokopi, foto, dll.

Setelah ditemukan calon-calon yang berpotensi, maka dilakukan beberapa verifikasi dengan interview, tes, dll. Kalau benar-benar cocok dan sesuai dengan budaya perusahaan, keterampilan yang dimiliki dan SELERA DARI HIRING MANAGER (posisi yang menjadi atasan orang yang akan bekerja), maka lanjut ke tahapan offering.



Sebagai gambaran, tahapan interview itu bisa saja lebih dari 2x. Oleh karena itu waktu rekrutmen untuk 1 posisi kisarannya sekitar 1 bulan-3 bulan dan tak terhingga (kalau gak nemu-nemu kandidat). Dari 1000 pelamar tadi, hanya 2-5 orang yang bisa lanjut sampai ke interview final. Dan hanya 1 orang saja yang diterima oleh perusahaan.

Persaingan lolos rekrutmen dan seleksi di perusahaan itu memang seperti persaingan para sperma menuju indung telur. Banyak yang berguguran. Banyak yang tidak bisa menembus dinding indung telur dengan sempurna. Bahkan, sebagaimana jabang bayi, ada juga yang keguguran atau gugur di masa percobaan atau kontrak pertama karena satu dan lain hal.

Itu baru 1 posisi ya, bayangkan kalau ada 10 posisi yang muncul secara bersamaan. Tiada hari tanpa interview dan tiada hari tanpa diteror kandidat maupun atasan. Sialnya, walaupun sudah sekuat tenaga mencari kandidat yang cocok, atasan seringkali dengan mudah bilang, "those candidates are rubbish." dan kandidat dengan mudah bilang, "Apaan sih HR perusahaan ini, pas butuhnya aja gercep. Giliran gak diterima kok gak ada kabar." Padahal di awal interview sudah disampaikan kalau 14 hari tidak ada undangan ke tahapan selanjutnya artinya tidak lanjut proses seleksinya alias tidak terpilih.

Ah, rupa-rupa lah cerita rekrutmen dan seleksi mah. Tapi dari sekian banyak interview, ada juga interview yang menurut saya menyenangkan. Yaitu saat bertemu dengan kandidat-kandidat yang mudah beradaptasi, punya ide inovasi dan perubahan yang unik dan cerita-cerita mereka tentang bagaimana mereka menyelesaikan sebuah masalah. Banyak sekali kandidat yang sangat rendah hati walaupun sudah memiliki pengalaman puluhan tahun lamanya. Banyak juga yang dengan lembutnya menolak undangan untuk melamar dengan bahasa yang sopan walaupun beliau-beliau sudah ada di level senior manager. Mengingatkan saya tentang cara untuk menerapkan ilmu padi dimana tetap merendah ketika berisi.

Singkat cerita, siklus rekrutmen dan seleksi itu unik untuk setiap posisi. Ada posisi yang cepat sekali terisinya. Ada juga yang puluhan purnama gak keisi-keisi juga. Silkus rekrutmen itu dimulai dengan siklus saling memohon: kandidat memohon untuk dipanggil seleksi, rekruter memohon pada hiring manager untuk memilih salah satu dari sekian banyak kandidat yang diajukan, hiring manager memohon pada rekruter untuk meminta kandidat lain sebagai pembanding. Lalu diakhiri dengan siklus kelegaan: kandidat lega karena akhirnya lolos seleksi dan pindah kerja, rekruter lega karena akhirnya satu posisi bisa terisi, dan hiring manager lega karena beban kerjanya akan berkurang dan dibantu lagi oleh seseorang.

Tapi sialnya akhir rekrutmen tidak selalu menyenangkan. Ada kandidat yang menolak masuk kerja di hari pertama. Ada juga perubahan organisasi secara tiba-tiba. Ada kandidat yang bertahan tapi ternyata kinerjanya tidak memuaskan. Ada kandidat yang hanya bertahan beberapa bulan lalu cabut lagi untuk kerjaan lainnya.

Intinya, rekrutmen & seleksi itu ibarat cerita tanpa ending story. Kita tidak bisa tahu apa yang akan terjadi kedepannya. Jadi, apa enak jadi rekruter? Emmm...Mayan lah~




Read More

Monday, May 18, 2020

Menjadi Tua


Menjadi tua artinya pernah menjadi muda. Pernah bergelora dengan idealisme menjadikan Indonesia lebih baik lagi. Pernah tanpa takut menggugat keputusan-keputusan yang diputuskan oleh satu pihak, baik diputuskan oleh kampus, orang tua bahkan atasan sendiri. Hingga akhirnya kita menjadi tua. Kita kemudian sadar bahwa hal-hal yang dulu kita lakukan sungguh kekanak-kanakan.

Menjadi tua bagi wanita menumbuhkan banyak standar yang tiba-tiba harus dipenuhi mereka satu persatu. Sebagai gadis muda, standar usia pernikahan menjadi tolak ukurnya. Sebagai pengantin baru, standar memiliki anak dianggap lumrah saja. Sebagai ibu muda, standar anak gemuk, sehat, suka makan dan berkembang pesat sudah dianggap wajar. Sebagai wanita bekerja, standar kantor dan terpenuhinya kebutuhan keluarga menjadi standar ganda yang tak bisa dielakkan satu dan lainnya. Belum lagi tuntutan untuk terlihat tetap cantik, bersih dan menarik. Sibuk sekali hidup menjadi wanita.



Sedangkan laki-laki jarang sekali dituntut untuk menjadi imam yang benar. Jika mereka selingkuh, bukan sikap brengsek mereka yang disalahkan. Istrinya yang disalahkan. Istrinya dipertanyakan atas kemampuannya menjaga keluarga dan merawat suami. Jika para suami tidak bisa ngaji dan mengimami sholat, istrinya diminta maklum dan diajak belajar bersama. Jika suaminya tidak bisa bekerja, istrinya yang bekerja harus tetap melakukan aktivitas rumah tangga. Bahkan jika suaminya ada keterbatasan pada sistem reproduksinya, banyak suami yang menjadi lebih brengsek lagi daripada biasanya. Padahal, jika para istri yang seperti itu, para suami dengan mudah meminta izin nikah lagi demi mendapatkan keturunan. Sungguh, menakutkan.

Menjadi tua membuat saya sadar bahwa banyak hal yang saya pikir membosankan saat kecil adalah hal yang menyenangkan di masa dewasa dan masa tua. Seringkali saya merindukan bermain tanpa keluar uang. Berlomba menjadi rangking 1 di kelas. Ikut banyak acara khusus anak-anak. Sibuk ikut les selepas jam sekolah. Jalan kaki jauh dan menamai perjalan itu dengan petualangan, padahal hanya beli jajanan di warung yang lebih jauh daripada biasanya. Menjadi tua membuat saya merindukan masa-masa kecil saya.

Menjadi tua juga membuat saya menerima beban tambahan sebagai anak yang harus berbakti kepada kedua orang tua. Disebut berbakti banyak definisinya, salah satunya adalah membantu tercapainya mimpi pendidikan adik-adik dan memberikan bantuan finansial kepada orang tua. Banyak orang tua yang tidak ingin melihat anak perempuannya bekerja. Padahal banyak dari anak perempuan itu tidak pernah mampu menjual sesuatu dengan baik. Banyak pula dari anak perempuan itu menjaga semangat hidupnya tetap menyala dengan menyalurkan perhatian dan waktu pada pekerjaannya. Banyak dari anak perempuan itu ingin terus bisa memberi kepada orang tua mereka. Tapi seringkali wanita yang bekerja dianggap hina. Mereka dianggap mengabaikan keluarga. Saat mereka mendapatkan promosi, seringkali mereka terima omongan nyinyir dari wanita lainnya. Dukungan tak pernah cukup untuk perempuan yang bekerja. Karena itu, menjadi tua membuat saya tahu bahwa saya harus mampu menyemangati diri saya sendiri.


Jakarta, 18 Mei 2020
Read More

Thursday, April 23, 2020

Spoiler : Reply 1988


Reply 1988 (Hangul응답하라 1988RREungdabhara 1988) adalah serial televisi Korea Selatan tahun 2015 yang dibintangi oleh Lee HyeriPark Bo-gumRyu Jun-yeolGo Kyung-pyo, dan Lee Dong-hwi.[1][2] Drama ini adalah drama yang menghangatkan hati yang berlatar belakang pada tahun 1988, tentang lima keluarga yang hidup di lingkungan yang sama di Distrik DobongSeoul Utara.[3] Menurut sutradara Shin Won-ho, tema "suami misteri" lainnya termasuk, seperti pendahulu-pendahulunya Reply 1997 dan Reply 1994.[4] Three Families Under One Roof, yang diputar dari tahun 1986 hingga 1994 di MBC, menginspirasi drama ini.[5]

Itulah kurang lebih kutipan dari Wikipedia tentang serial drama Korea Selatan berjudul Reply 1988. Drama tentang kehidupan 5 keluarga di Ssangmundong, Seoul, Korea Selatan.  Dari 5 keluarga itu, ada 5 orang anak yang menjadi sahabat dari kecil hingga dewasa. Tapi drama ini bercerita kehidupan mereka saat SMA kelas 2 di tahun 1988. Film diawali dengan penjelasan 5 orang pemeran utama yang saling bersahabat dan tempat mereka tinggal. Mereka itu adalah Deok Soon, Choi Taek, Jung Hwan, Sun Woo, dan Dong Ryong.

Saat itu, di Korea Selatan pendidikan menengah pertama dan menengah atas (SMP & SMA) dipisahkan antara sekolah laki-laki dan perempuan. Di episode-episode awal banyak menceritakan tentang aktivitas sehari-hari mereka di rumah maupun di sekolah masing-masing. Selayaknya remaja pada umumnya, Jung Hwan, Sun Woo dan Dong Ryong bermain sepak bola, bolos untuk nonton film di bioskop dan kenakalan ala remaja lainnya. Sedangkan Deok Soon diceritakan sebagai anak gadis yang bodoh dan malas belajar. 

Ketika mereka berada di rumah, mereka selalu berkumpul di kamar Choi Taek, seorang pemain Go muda yang terkenal. Di mata mereka, kamar Taek adalah basecamp ternyaman dan teraman karena ayah Taek tidak pernah usil masuk ke kamarnya dan cenderung tidak pernah marah-marah seperti kebanyakan orang tua yang ada di drama ini. 

Durasi setiap episodenya cenderung panjang: 1 jam 30 menit dan ada 20 episode. Mabok kan nontonnya wkwkwk. 

Pada setiap episode selalu ada yang berbeda. Di Episode 1, cerita yang diangkat adalah cerita dimana Deok Soon selalu disisihkan karena ia anak perempuan kedua di keluarga. Kakaknya Sung Bo Ra adalah gadis yang sangat pintar dan bisa diandalkan. Adiknya, Sung No Eul adalah satu-satunya anak lelaki di keluarga. Deok Soon tidak pernah ingin ulang tahunnya dirayakan bersamaan dengan ulang tahun Bo Ra, tapi orang tuanya tidak punya cukup uang untuk merayakan ulang tahun mereka berdua secara terpisah. 

Reply 1988

Dalam satu episode, cerita lucu, menegangkan, mengesalkan dan membuat haru selalu jadi satu. Bila di drama lain kita sudah tahu apa yang akan terjadi di 15 menit terakhir sebuah episode, di drama ini tidak demikian. Selalu ada yang bisa berubah, tiba-tiba muncul atau menghilang dalam setiap episodenya. Di drama ini, semua orang disana sepertinya menjadi tokoh utama karena kisah hidup mereka diceritakan dengan perlahan satu persatu.

Seperti drama seri Reply lainnya, di Reply 1988 juga kita akan menebak-nebak siapakah suami sang pemeran utama wanita. Dalam seri Reply 1988, kita harus mencocokkan ciri-ciri suami Deok Soon dengan ciri-ciri yang muncul sedikit demi sedikit dalam setiap episode. 

Jika saya diminta untuk merekomendasikan drama KorSel oleh teman, saya akan merekomendasikan Reply 1988 untuk ditonton. Walaupun pilihan suami saya untuk Deok Soon meleset, tapi saya dan suami tetap baper nonton seri drama Reply 1988. Dari 1-10, saya beri nilai 9.5!


Read More

Wednesday, April 22, 2020

Review : Kim Ji-Yeong Lahir Tahun 1982


Menjadi ibu rumah tangga bukanlah mimpi Kim Ji Yeong, seorang wanita muda kelahiran 1982. Buku yang akhirnya diangkat menjadi film ini kerap kali menuai kritik dari warga Korea Selatan tapi memanen banyak penghargaan di luar negeri. Film ini bercerita tentang sesosok wanita bernama Kim Ji-Yeong dan diskriminasi yang dialaminya dari kecil hingga dewasa. Namun ternyata film dan buku agak berbeda menceritakan kisah Ji Yeong secara mendalam. Di buku, semua konflik yang mendasari kejadian dan cara bersikap Ji Yeong cenderung lebih mendetail dan berkaitan. Sedangkan di dalam film, Kim Ji-Yeong terlihat nelangsa dan sengsara bila mengingat kejadian demi kejadian yang ia alami di masa muda. 

Bahkan, film dan buku memiliki akhir cerita berbeda. Jika di dalam film Ji-Yeong berakhir bahagia, tidak dengan di dalam buku. Di dalam buku akhir cerita seperti menyimpulkan cerita itu sendiri, apalagi kalimat terakhir dari Psikolog yang merawat Ji Yeong. 

Kim Ji Yeong Lahir Tahun 1982

Di dalam buku ini saya merasa penulis sedang membandingkan ketahanan mental dari ibu dan anak. Ibu Ji-Yeong bukanlah wanita yang datang dari keluarga berada. Ia kerja keras membanting tulang untuk menyekolahkan anak laki-laki di keluarganya. Tapi semua keberhasilan anak laki-laki tidak pernah disematkan pada Ibu Ji-Yeong. Peran wanita seakan diabaikan disana. Beruntung, Ibu Ji-Yeong kuat mentalnya. Ia bisa menghadapi semua kesulitan yang ia hadapi dengan lapang dada dan berani mengungkapkan pendapat maupun perasaannya kepada suaminya (ayah Ji-Yeong). Berbeda dengan Ji-Yeong yang cenderung selalu merasa tertindas dan tak berdaya. Ji-Yeong tidak memiliki 'kekuatan mental' seperti ibunya. 

Secara plot, buku ini menarik karena menceritakan dengan gamblang kondisi Korea Selatan di era tahun 80-an. Tapi cara penyampaian kisahnya menurut saya kurang menarik. Sangat naratif dan terlalu banyak fakta-fakta yang seakan dipaksakan untuk dijelaskan di dalam cerita. Hal ini membuat saya merasa sedang membaca esai bukan karangan non-fiksi. Namun, sisi informatif ini juga berguna bagi saya yang tidak tahu bagaimana kondisi pada saat itu di Korea Selatan sana.

Dari pemilihan kata, karena novel ini adalah novel terjemahan, diksi yang digunakan tidak terlalu menarik bahkan cenderung biasa-biasa saja. Namun memang membaca buku terjemahan seringkali membuat 'rasa'nya berbeda. 

Walaupun masih ada kekurangannya, buku ini cukup dapat dijadikan referensi untuk memahami setitik budaya Korea Selatan dari sudut pandang kesetaraan gender. Penulisnya Cho Nam-Joo adalah sarjana Sosiologi dari Universitas Wanita Ewha, jadi cara Nam-Joo menerangkan setiap tokohnya sedikit banyak menceritakan latar belakang keilmuan sosial yang ia miliki. Dari 1-10, saya rasa buku ini ada di nilai 7. Review ini saya akhiri dengan kutipan ucapan dari Ibu Kim Ji Yeong yang sedang mengomeli suaminya. 

"Tak bisakah kau berhenti mengoceh tentang bantuan? Kau membantu dalam urusan rumah tangga, membantu membesarkan anak, membantu urusan pekerjaanku. Memangnya rumah ini bukan rumahmu? Memangnya keluarga ini bukan keluargamu? Anak ini bukan anakmu?" (Mi Sook - Ibu Kim Ji-Yeong)
Read More

Wednesday, April 15, 2020

Review- Little Women (2019)



"Women, they have minds, and they have souls, as well as just hearts. And theyve got ambition, and theyve got talent, as well as just beauty. Im so sick of people saying that love is just all a woman is fit for. Im so sick of it!" (Jo March)

Menjadi wanita selalu tidak mudah, entah itu di jaman dahulu atau jaman serba maju seperti sekarang ini. Wanita selalu identik dengan kecantikan. Ambisi, keterampilan dan kepuasan jiwa seringkali berkonotasi jika disandingkan dengan wanita. Wanita seringkali dirasa 'hanya pantas' untuk hal-hal yang berbau keluarga, anak-anak, suami, dan cinta pada lelaki. Itulah yang dirasakan oleh Jo March, anak kedua dari empat bersaudara yang ada di film ini. 

Film ini bercerita tentang kehidupan Meg, Jo, Amy dan Beth yang beranjak dewasa. Mereka dibesarkan oleh orang tua yang sangat peduli kepada sesama dan memiliki ibu yang berpikiran luas. Mereka berempat adalah pribadi yang hangat dan akrab satu sama lain. Meskipun hubungan Jo dan Amy tidak terlalu baik, tapi secara keseluruhan hubungan emosional empat orang kakak beradik itu sangatlah kuat.

Little Women (2019)

Cerita Meg banyak diisi dengan pesta-pesta dansa yang diikutinya untuk mencari jodoh. Cerita Jo penuh dengan ambisinya menjadi berbeda dan kreatif. Tak lupa cerita kedekatannya dengan Laurie, tetangga kaya yang menawan. Kisah Amy penuh dengan keinginannya menjadi kaya dan memiliki kehidupan yang berbeda dari kondisinya sekarang. Sedangkan Beth hanya berkisar kesukaannya terhadap musik, kepeduliannya terhadap sesama dan kondisi tubuhnya yang selalu tak baik. 

Ini bukan hanya drama keluarga, tapi juga percintaan masa dewasa awal yang amat menawan. Ending yang ciamik dan tidak bisa diprediksi sebelumnya membuat saya ikut patah hati. Percakapan antar pemerannya serasa mengalir dan natural. Baju-baju yang digunakan sangatlah cantik dan memperlihatkan perbedaan kelas ekonomi yang jelas.

Meskipun cerita tentang Jo lebih dominan dibandingkan cerita saudaranya yang lain, tapi saya puas dengan penampilan Saoirse Ronan di film ini. Awalnya memang agak khawatir karena saya kurang suka dengan film Lady Bird yang dibintangi olehnya, tapi akhirnya saya menyukai Saoirse dibandingkan Emma Watson yang tidak menonjol dalam film ini. 

Kalau kamu punya waktu senggang dan ingin nonton drama tapi tidak menye-menye, sepertinya film ini bisa jadi salah satu pilihan. 
Read More

Saturday, April 4, 2020

Spoiler - Money Heist


I hate serials. Gue males ketagihan karena merasa ada yang kurang kalau nonton gak sampai selesai. Tapi setiap kali ada kesempatan minta rekomendasi film apa yang perlu gue tonton dari temen-temen, selalu keluar beberapa judul serial. Entah itu serial Korsel, Jepang, Amerika, dll. Kali ini, karena suami gue ada paket Netflix yang bisa dipake barengan, gue coba nonton salah satu serial dari Spanyol: Money Heist. Yes, filmnya tentang pencurian uang di Percetakan Uang Negara Spanyol. 

Menariknya, setelah nonton 4 sesi, gue baru tau kalau serial ini adalah serial yang gagal di Spanyol. Rating MH melonjak di episode pertama, menurun dan terus menurun hingga episode terakhir di sesi kedua. Akhirnya, serial ini harus gulung tikar dan berakhir. Berakhir dengan bahagia tentunya :)

Tiba-tiba, Netflix datang ke tim MH dan menawarkan film tersebut tampil di Netflix. Film itu muncul di katalog film-film Netflix tanpa promosi. Tidak seperti serial Kingdom 2 yang selalu muncul iklannya setiap gue nonton youtube. MH muncul dalam senyap.

Tak lama setelah rilis, para pemain MH dibanjiri followers baru di Instagram. Tiba-tiba akun mereka naik jumlah followersnya dalam sekejap. Lalu Netflix meminta mereka untuk 'merampok' lagi. Sesi 3 dan 4 muncul dan dunia mulai gila serial Spanyol bernama Money Heist. 

Ceritanya lumayan unik. Alurnya cenderung lambat. Film yang menyatukan genre laga dan romantis. Penuh penjelasan atas setiap tahapannya. Film ini tentang sekumpulan rampok yang dipimpin oleh Profesor. Pria misterius yang tidak diketahui latar belakangnya. Ia mengajak orang-orang dengan skill tertentu dan ia latih selama 5 bulan di sebuah rumah di pedesaan Spanyol. Profesor menjelaskan setiap langkah yang harus mereka lakukan. Ia juga membekali pengetahuan hal-hal penting yang terkait dengan aksi mereka. Para perampok ini mempelajari banyak hal, mulai dari ilmu dunia kedokteran, hukum dan tentunya ilmu yang bisa membantu kejahatan mereka. 

Sejujurnya secara tekstual, mereka tidak mencuri uang di percetakan uang negara, mereka 'hanya' memproduksi uang mereka sendiri secara ilegal. Semua ini didalangi oleh Profesor dan dieksekusi oleh kelompok bernama kota: Tokyo, Rio, Moscow, Denver, Helsinki, Oslo, Nairobi dan Berlin. 

Money Heist
Sebagaimana film romantis dari barat, film ini sarat dengan adegan intim, mesra dan lenguhan-lenguhan wanita. Entah apa yang ada dipikiran para perampok itu, kok sempet lagi rampok malah ML. Padahal dalam ketentuan perampokan mereka, ada sebuah protokol: tidak boleh saling mengetahui kehidupan pribadi satu sama lain dan tidak boleh ada hubungan emosional antar perampok. Tapi apa boleh dikata, Profesor juga memakan ucapannya sendiri. Ia jatuh cinta pada Inspektur Raquel Murillo, seorang negosiator dari kepolisian yang baru cerai dari suaminya karena kasus KDRT. 

Banyak hal tidak sesuai dengan rencana awal. Hubungan emosional merusak semua rencana yang tidak boleh ada improvisasinya. Tapi mereka bisa membereskan itu semua. Dengan kabur melalui terowongan yang menyambungkan bank dan hangar Profesor, semua uang yang mereka curi bisa diselamatkan. Sayang disayang, ada beberapa anggota yang nantinya meninggal.

Itu baru cerita tentang sesi 1 dan 2 dari serial Money Heist. Sesi 3 dan 4 beda lagi. Mereka melakukan pencurian untuk sebuah misi: menyelamatkan salah satu anggota geng rampok yang disiksa oleh pemerintah Spanyol. Akan ada banyak nama kota atau personel tambahan di sesi 3 dan 4. 

Menurut gue, dari 1-10, MH ada di level 8.5 walaupun gue sangat terganggu dengan adegan-adegan erotis selama film. Tapi masih untung sih, banyak obrolan yang tidak penting saat scene bercinta dilakukan. Jadi masih aman untuk di skip. Karena Netflix tidak menyediakan fitur menaikan kecepatan fram film, jadi ya harus rutin klik 10 detik forward untuk mempercepat scene-scene yang terlalu melankolis, dramatis dan menjemukan. 

Dibalik kesuksesan serial Spanyol ini, Money Heist menimbulkan dilema. Ada beberapa aksi kejahatan di Spanyol diinspirasi oleh film ini. Ada perampokan bank, perampokan atm, dll. Simbol-simbol yang digunakan dalam film ini pun laris di pasaran. Topeng dali, wearpack merah serta lagu Bella Ciao seringkali dijadikan simbol perlawanan di berbagai negara di dunia. Hal ini menarik, karena ternyata banyak orang menghayati resistensi atau perlawanan sebagai wujud perilaku yang ideal. Padahal, belum tentu begitu. 

Menonton MH membuat saya berpikir, jika saya punya uang 1juta Euro, akan saya belikan apa ya? Ada usul?


Read More

Total Pageviews

Blog Archive

Search This Blog

Powered by Blogger.

Quote

Bermimpilah karena Tuhan akan memeluk mimpi-mimpimu (Andrea Hirata)