Sore itu, disalah satu hari Kuliah Kerja Nyata
Mahasiswa (KKNM) yang kuikuti, belasan anak duduk disekitarku. Beberapa
diantara mereka mengeja satu persatu huruf hijaiyah yang ada di buku tipis
bernama Iqra'. Beberapa yang lain sibuk menulis materi. Mata mereka berbinar
ingin tahu. Senyum mereka merekah setiap ada bacaan huruf yang salah. Entah
karena malu, entah karena apa.
Aku termasuk orang yang kaku. Sulit mencairkan suasana dan cair dalam
suasana. Tapi tatapan mereka, senyuman mereka, semangat mereka untuk belajar
memaksaku cair dalam suasana yang bisa mendukung mereka belajar.
Kukira menjadi guru itu mudah. Nyatanya, sangat diluar dugaan. Banyak yang
harus kukuasai sampai anak didikku benar-benar paham apa yang kuajarkan. Banyak
yang harus kupelajari hingga mereka menggangguk karena mengerti. Banyak yang
harus kudalami, salah satunya adalah cara mendengarkan.
Kenapa harus mendengarkan?
Karena anggukan belum tentu berarti memahami. Karena senyuman belum tentu
berarti mengerti. Karena binaran mata belum tentu berarti menguasai.
Jangankan hal yang rumit, mengajak anak-anak mampu untuk membedakan huruf
hijaiyah yang satu dengan yang lainnya saja masih sulit. Rasanya tak adil bila
mengharapkan murid yang cerdas dari guru yang tak cerdas. Karena itulah,
mencerdaskan anak bangsa itu perlu dilakukan oleh guru yang cerdas pula.
Saat itu, aku beserta temanku berjibaku memikirkan cara terbaik membantu
mereka mudah membaca Al-qur'an dikemudian hari. Satu hingga tiga hari cara itu ampuh.
Tapi tidak dengan hari keempat dan kelima. Mungkin karena bosan dengan metode
yang itu-itu saja, atau entah karena apa.
Hari kelima berlalu tanpa ada kemajuan berarti dari adik-adik kami.
Malam itu kami merencakan banyak metode pembelajaran yang dapat menarik
minat mereka kembali. Tapi sayang, kabar kurang
enak didengar harus kami terima keesokan harinya. Pengajian untuk sementara
diliburkan selama 2 minggu untuk persiapan peringatan Isra' Mi'raj. Mereka akan
menampilkan kreasi seni dan menurut penyelenggara pengajian, jadwal mengaji sore
hari akan mengurangi waktu istirahat mereka. Baiklah, siapalah kami? toh kami didatangkan untuk
membantu penyelenggara pengajian setempat.
Waktu demi waktu berlalu
dengan cepatnya. Tak terasa dua minggu seperti dua hari. Akhirnya kami kembali
mengajar disana. Sayang, seluruh program yang kami rancang tidak bisa
terlaksana secara sempurna. Hari berganti, maka targetan pencapaian materipun
ikut berganti. Program yang kami susun kebetulan hanya cocok untuk materi
pengenalan makhorijul huruf. Jadi, saat lahir keputusan dari ketua kelompok KKNM untuk menyamakan materi yang disampaikan disetiap masjid, kami mengamininya.
Adik-adik kami itu
memang tidak buta huruf Al-qur’an. Tapi banyak dari huruf hijaiyah yang mereka
tahu itu keliru cara bacanya. Misalnya, huruf “fa” sering kali dibaca “pa” dan
banyak lagi contoh lainnya. Ini memang kesalahan kecil, tapi cukup mendasar dan
akan mempengaruhi cara baca Al-qur’an mereka nantinya. Sayang, targetan kami
tak tercapai seluruhnya.
Satu pelajaran penting
bagi kami, bagiku khususnya. Kecerdasan lain yang harus dimiliki para pendidik
di dunia ini adalah kecerdasan mengatur waktu. Kecerdasan ini yang tak kami kuasai sehingga target kami berantakan.
Teringat pada salah satu
dosen favoritku, serumit apapun materi yang beliau sampaikan pada kami, entah
bagaimana caranya selalu berakhir sesuai dengan jadwal yang
ditentukan. Hebatnya lagi, hampir seluruh mahasiswa yang ada di dalam kelas itu
mengerti apa yang beliau sampaikan.
Suatu saat beliau pernah
bertanya pada kami, “Apa yang kalian rasakan saat belajar mata kuliah saya?”
Beberapa orang dari kami
menjawab senang, merasa tertantang dan lain sebagainya. Beliau kemudian
berkata, “Alhamdulillah, berarti doa saya dikabulkan oleh Allah.”
Kami terperangah. Doa?
Ah ya, rasanya doa
pantas menjadi pamungkas dari usaha-usaha yang dilakukan oleh para pendidik. Usaha tanpa doa itu sombong. Sedangkan doa
tanpa usaha itu bohong. Doa beliau membuat kami lebih mudah memahami materi.
Intinya, mencerdaskan
bangsa itu tidak mudah. Perlu usaha, kemauan untuk mendengar, cerdas mengatur
waktu dan juga doa dari para pendidik untuk pemahaman yang terbaik.
Satu lagi tambahan
penting dari seorang teman, “bila apa yang kita berikan itu berasal dari hati,
maka hal itu akan sampai ke hati yang dituju.” Mari berkontribusi menggunakan
hati. Bukan karena impian untuk naik jabatan, naiknya gaji atau naiknya nilai
anak-anak. Itu semua hanya dampak dari seluruh usaha yang kita jalani.
Mari mencerdaskan anak bangsa karena mencerdaskan anak bangsa itu tidak mudah!
1 comments:
like this! :))
Post a Comment