-Cerita ini cerita dari seorang rekan. Rekan yang tak sengaja bercerita tentang kisah manis-pahitnya. Cerita yang berharga, walau mungkin tak berakhir seperti cerita-cerita cinta kebanyakan. Jadi, jangan hanya karena aku menceritakannya disini, lalu semua itu sepertinya aku yang merasakan. Ini hanya aksi plagiasi resmi yang disetujui olehnya. Mohon maaf bila ada kata-kata atau urutan cerita yang ganjil, baru belajar :D-
Selamat membaca
Kawan, bila kau sering mendengar cerita tentang cinta yang berujung pada bersatunya dua sejoli oleh satu landasan yang dikatakan cinta setelah sang pria mengungkapkan perasaanya pada pujaan hatinya, maka disini, dicerita ini, kau akan temukan sebuah kisah yang berbanding terbalik dengan kisah abadi yang sebenarnya tak abadi, kisah Rome-Juliet.
Ini kisahku, kisah dimana aku mendapatkan pencerahan tentang arti cinta yang tak biasa. Cinta yang terasa saat ia menjauh. Cinta yang menjadi tanda tanya setelah ia mengungkapkannya.
Kisah ini berawal dari sebuah bangunan yang disebut sekolah sekitar 8 tahun yang lalu. Saat itu aku tak pernah sadar, ada seorang pemuda pendiam disana yang mengagumiku entah sejak kapan. Pemuda pendiam itu sukses membuat salah seorang sahabatku cinta mati padanya. Setiap langkah kaki pemuda itu, bagaikan rangkaian sugesti dalam hipnotis bagi sahabatku. Setiap senyuman yang tak sengaja yang tersungging dari bibir lelaki itupun bagaikan cahaya aurora di luasnya cakrawala. Ah, pemuda itu terlalu membuat hati sahabatku bertekuk lutut.
Aku tak terlalu peduli apa itu artinya mencintai. Aku tak ingin mengerti apa dampak dari menyukai. Semua itu berubah ketika ia, pemuda itu, pemuda yang disukai sahabatku setengah mati, menyatakan perasaannya padaku.
“Aku hanya ingin kau tahu, aku sayang sama kamu. Tak usah membalas pesan ini. Tak usah dipikirkan. Sekali lagi, aku hanya ingin kamu tahu, aku sayang kamu.”
Kurang lebih, begitu pesan yang ia sampaikan padaku beberapa hari setelah Ujian Nasional di tahun ketigaku duduk di bangku SMP.
Kau tahu, kawan? Pesan itu bak campuran gelegar petir dan sambaran kilat di tengah hari.Semuanya serasa mustahil. Semua seperti hanya mimpi buruk yang tak kunjung berakhir. Ia bukan mimpi buruk itu, tapi perasaannya yang membuat mimpi buruk itu terjadi.
Sebenarnya, bila boleh membalas tepuk, takkan kubiarkan cintanya bertepuk sebelah tangan. Jujur, aku juga menyukainya. Tapi kau tau kan, kawan, sahabatku lebih dari paru-paru dalam tubuhku. Tak layak menyakitinya walau bukan aku yang ingin menyakiti.
Tak ada alasan untukku membalas pesan singkat yang sebenarnya mendalam itu. Ia menghilang bagaikan ditelan bumi. Tak ada kabar, tanpa alasan.
Hem, sudahlah...yang jelas kenangan itu akan tetap terkenang dan menjadi kenangan yang pantas dikenang.
Empat tahun berlalu begitu saja. Ingatanku tentang kenangan akan dirinya sudah mulai terkikis entah kemana. Kami berpisah. Aku bersekolah disini dan ia entah dimana. Namun takdir mempertemukan kami kembali. Pertemuan yang tampaknya tak pernah kuinginkan, padahal sebenarnya sangat kuharapkan. Pertemuan itu pertemuan aku dan ia setelah terpisah bertahun-tahun lamanya.
Aneh, sungguh aneh. Pertemuan itu berbuah kedekatan antara kami berdua. Kedekatan yang berbeda, kedekatan yang lebih dewasa. Kedekatan yang membuatku merasa nyaman.
Walau demikian, tak lantas kami mengumbar kenangan tentang pesannya bertahun-tahun silam. Kami berbicara, bercanda dan bahkan tertawa untuk berbagai hal, tapi tidak untuk pesan itu. Semua berjalan seperti tak ada hal spesial yang pernah ia katakan sewaktu kami masih berseragam putih-biru. Dan aku merasa nyaman dengan semua itu.
-bersambung :)
0 comments:
Post a Comment