Ternyata jadi artis dadakan yang sibuk berpose itu melelahkan, ya? tak sadar lebih dari 50 poto diabadikan untuk mengenang pernahnya kita jalan-jalan ke taman Suropati. Taman suropati memang seperti taman kebanyakan, tak ada yang lebih istimewa dari kunjungan ke taman itu bersama orang-orang yang istimewa.
Sayang, gue harus pulang ke Bandung saat itu juga. Perjalanan taman Suropati-Kampung Rambutan tak semulus yang gue kira. Banjir, macet, berdesakan dibusway mewarnai perjalanan pulang kali ini. Singkat cerita, gue sampai kampung Rambutan sekitar jam 5 sore. Gue sempet mampir ke Mushola untuk sholat disana. Ini yang bikin gue terkaget-kaget. Mushola berada di sebuah ruangan kumuh yang enggan untuk dirawat pemerintah. Tempat wudlu perempuan dan laki-laki jadi satu. Air yang mengalir berbau besi. Ah, untung saja mushola ini punya beberapa mukena yang bisa dipinjam sebagai penghibur hati.
Gue sangka, dengan fasilitas yang menyedihkan itu para pemakai "jasa" mushola dan tempat wudlu akan diberi akses gratis tanpa membayar, ternyata tidak. Tetap dipungut bayaran, walau hanya seribu rupiah.
Rasa miris bertambah saat gue lihat sekeliling mushola itu, selain kotor, kumuh dan ah...tega-teganya mereka berjudi tepat disamping mushola. Andai gue punya tongkat ajaib Nabi Musa, gue belah terminal ini (sebagaimana Nabi Musa membelah lautan) dan gue kubur mereka hidup-hidup. Gak nyambung sih perumpamaannya, tapi intinya gue benci mereka!
Proses menunggu bis Bandung yang berhenti tepat di leuwi panjang lagi-lagi tak semulus yang dibayangkan. Tak ada satupun bis yang gue tunggu daritadi. Apa ini artinya gue harus menetap lagi di Jakarta? Kalau itu sih, gue juga mau :)
Di pikiran gue terbayang wajah ayah + ibu yang ngomel-ngomel gak karuan kalau seandainya gue gak pulang hari itu juga. Tapi di sisi lain, gue juga takut kalau harus pulang ke Bandung dan sampai kesana lebih dari jam 8 malam.
Gue coba telepon ayah + ibu, tapi nihil, gak ada satupun yang rela angkat telepon gue. Mungkin mereka sibuk dan mungkin ini juga yang ngelarang gue buat pulang sore itu. Setelah pemikiran panjang dan memakan waktu akhirnya gue putuskan untuk nginep di rumah Jejen yang ada di Cibitung dengan pertimbangan rumahnya lebih dekat ke terminal.
Perpisahan yang kurang menyenangkan dan kurang berkesan. Eli pulang naik busway ke kampung Melayu, Fajar naik bus Patas ke Rawa Buaya, sedangkan gue dan Yanti ikut Jejen naik bus Mayasari yang warnanya hijau. Okey, dadah Jakarta, Bekasi I'm coming!!!!
Yup, setelah perjalan sekitar 1 jam-an akhirnya gue sampai ke rumah Jejen. Dengan hebohnya Umi (panggilan Mamanya Jejen) menyambut kita bertiga. Dan akhirnya gue ketemu Ayahnya Jejen yang persis Rhoma Irama! Tiba-tiba diotak gue terputar lagi "JUDI..JUDII Treeettt....."
Duduk sebentar dikamar Jejen yang sejuk (katanya karena habis hujan, jadi sejuk) tiba-tiba disuruh makan malam dan ini adalah berita yang membahagiakan. Umi itu punya warung makan, jadi hamparan menu makan malam bisa dipilih sesukanya -itu kata Umi-. Dan gue gak akan melepaskan kesempatan emas ini, gue pilih ikan dan apalagi ya? lupa. Hahaha.
Sop daging sapi dikirim Jejen ke kamar dan melengkapi makan malam gue bareng Yanti. Hem, yummy! Selesai makan, Umi bilang, "mau bakso, neng? Umi pesenin deh. Ueenaakk banget baksonya!"
Haaahh, Tuhan..gue gak bisa bilang "enggak!" yang ada gue ngangguk-ngangguk bahagia :P
Semua makanan selesai masuk ke perut gue yang tak lagi mirip perut manusia karena saking banyaknya makanan yang gue makan. Yang jelas, bekasi itu tempat transit yang menyenangkan. Yes, sekarang gue punya 3 orang tua! ada Ayah-Ibu (ortu gue), ada Bapak-Ibu (ortu Fajar) dan ada Ayah-Umi (ortu Jejen). Alhamdulillah ya Allah.
Karena perut yang bertolak belakang dengan orang-orang busung lapar, akhirnya mata gue perlahan mulai sayup-sayup gak karuan. Walaupun dulu pernah dengar Kang Ucup mantan ketua BEM KM ITB bilang setelah makan itu untuk bekerja bukan untuk tidur, tapi rasanya gue lebih milih amnesia saat itu. Perut kenyang, hatipun senang ^_^
0 comments:
Post a Comment