Aku pernah bercerita tentang
senyum anak kecil yang membuatku merasa sore hari penuh warna. Aku juga pernah
merasa tenang saat mendengar hapalan surat pendek seorang anak kecil di
angkutan umum. Kini, lagi-lagi aku mendapatkan pelajaran berharga dari tingkah
polah makhluk terjujur sedunia.
Siang itu, lagi-lagi aku salah
jalan. Entah mengapa kesalahan selalu menghiasi hidupku. Mulai dari salah naik
angkutan umum, salah kirim SMS, hingga salah alamat. Ah, terdengar seperti lagu
dangdut saja.
Kembali ke ceritaku, siang itu
aku hendak pergi ke suatu tempat. Namun naas, aku yang sangat sulit menghapal
jalan ini lagi-lagi tersesat di kotaku sendiri. Aku memutuskan untuk berjalan.
Beruntung, suhu udara di siang itu tak membuatku bercucuran keringat. Daerah
tempatku tersesat pun penuh pohon rindang, sehingga aku dengan senang hati
menikmati terbuangnya waktu karena tersesat.
Lelah berjalan, akhirnya
kuputuskan untuk naik angkutan umum kembali. Angkutan umum yang kutumpangi
hanya berisi seorang ibu dengan anak laki-lakinya. Mereka sukses mencuri perhatianku. Anak itu
berceloteh tanpa henti dan ibunya mendengarkan lalu merespon setiap
celotehannya. Tanpa diminta, otakku bekerja merekam percakapan mereka dengan
cukup baik.
“Ma, kenapa orang-orang meludah
sembarangan di jalan?” tanya si anak.
“Iya, mereka gak tahu itu bikin penyakit mereka menyebar ke orang
lain,” jawab si ibu.
“Oh, kasihan ya Ma orang-orang
yang nanti ketularan. Eh kok
orang-orang juga suka merokok di tempat umum? Kata kakak itu gak boleh loh, Ma.”
“Iya, harusnya gak boleh gitu.”
“Em, berarti mereka jahat ya,
Ma.”
Si ibu mengangguk dan aku
tersenyum karena sopir angkot yang kami tumpangi sedang merokok sambil
menyetir.
“Ma, semua speaker di mobil kayak gini gede semua ya, Ma?”
“Iya, kenapa?”
“Kan kasihan orang-orang di dalam angkot, bisa-bisa nanti budeg. Hehe.”
“Ya enggak, orang-orang juga suka
dengar musik.”
Si ibu terlihat melirik ke arah
sopir angkot yang beberapa melirik anak laki-laki beserta ibunya itu melalui
cermin. Aku? Apa yang aku lakukan? Aku sibuk menebak pertanyaan apalagi yang
akan keluar dari anak laki-laki cerdas ini.
“Ma, itu isinya apa sih, kok bisa nyala kalau malam?” tanya
anak itu sambil menunjuk ke arah billboard rokok yang terpampang di pinggir
jalan.
“Lampu.”
“Sama gak dengan lampu yang ada di rumah kita?”
“Sama.”
“Kalau ayah bikin lampu yang kayak
gitu di rumah, dipasangnya di kamar adik ya.”
“Oke.”
“Ma, itu kok yang naik motor
jalan di tempat jalan kaki?” anak laki-laki itu menunjuk ke arah pengendaara
motor yang sedang melaju di trotoar.
“Iya, seharusnya gak boleh seperti itu.”
“Kalau ada polisi, harus dihukum
ya, Ma?”
“Iya.”
“Kasihan ya, Ma. Orang-orang
jalan kaki jadi susah.”
“Iya.”
“Ma, temanku katanya pernah ke mall. Mall itu apa, Ma?”
“Kata teman adik apa?”
“Gak tahu, nanti adik tanya dulu ya.”
“Nanti certain ke Mama ya.”
“Iya, Ma. Tapi mall itu apa dulu?”
“Tempat beli-beli barang. Waktu
adik beli baju bola itu kan di mall.”
“Oh, tempat orang-orang jualan
ya.”
“Iya.”
“Itu mall juga, Ma?” jari telunjuknya mengarah ke pedagang kaki lima
yang berjejer di pinggir jalan.
“Bukan, kalau mall ada gedungnya.”
“Oh, yang kayak gitu?” si anak
menunjuk gedung bertuliskan Riau Junction.
“Iya. Betul.”
….
Ibunya hanya tersenyum dan
mengangguk. Tak lama kemudian anak beranak itu turun dari angkot hijau yang
kami tumpangi. Sungguh, aku tak bisa membayangkan bagaimana bila aku menjadi
ibu dari anak itu. Rasanya aku akan risih ditanya banyak hal yang menurutku remeh
di tempat umum. Tapi ibu itu dengan sabar menjawab dan merespon semua
pertanyaan dan ungkapan anaknya. Tanpa marah-marah dan terlihat kesal. Tanpa
menyuruh anaknya diam karena terlalu banyak bertanya. Tanpa melarang anaknya
bertanya kembali.
Tuhan, jika suatu saat nanti aku
berkesempatan menjadi seorang ibu, mampukan aku mendengar dan merespon dengan
baik apa yang disampaikan anakku. Tolong bantu aku meredam fluktuasi emosi yang
membuatku mudah kesal dan merespon secara negatif apa yang menurutku tak
penting.
Bu, meskipun kita hanya bertemu
saat itu dan aku tak ingat wajahmu dengan baik, izinkan aku mengucapkan
terimakasih sedalam-dalamnya untukmu yang telah mengajarkanku secara langsung
bagaimana bersikap. Pelajaran yang mudah didengar dan sulit dipraktekan.
Dik, semoga kau tetap bertanya
dan terus bertanya tentang banyak hal. Kau pasti jadi anak yang hebat, semoga!
Siang itu lagi-lagi menjadi siang
yang indah.
0 comments:
Post a Comment