Aku termasuk orang yang saat ini
tak bisa dengan mudah menahan emosi negatif terutama marah. Ya, jikalau amarah
bisa berubah menjadi uang, mungkin aku sudah menjadi orang terkaya sedunia
karena terlalu sering marah-marah. Jeleknya, setiap marah pasti orang-orang
yang ada disekitarku kena imbasnya. Nyolot
sana, nyolot sini. Menyebalkan.
Umumnya, bila sedang marah,
teman-temanku enggan mendekat karena malas kena semprotan yang panjang bukan
main. Tapi berbeda dengan temanku satu itu. Dina.
Namanya Dina Hazadiyah, ia sering
menuliskan kata “rainbowstar” diakhir nama depannya sebagai nama gaul di
barang-barang miliknya termasuk berbagai akun sosial media yang ia punya. Dina
termasuk orang tersabar dari segelintir orang yang sabar berinteraksi denganku.
Ia orang yang pemalu, baik, ramah dan juga sabar.
Suatu hari entah karena apa, aku
tak bisa menahan diri. Marah-marah tak jelas. Mengoceh tak tentu arah. Intinya,
saat itu aku marah besar. Padahal aku sedang bergerombol dengan teman-temanku
yang lain. Mereka diam saja tak menanggapiku yang mengoceh terus-terusan.
Merasa tak didengar, akhirnya aku diam. Kesalku semakin bertambah. Teman macam
apa mereka? Pikirku saat itu. Hahaha. Memang dasar orang egois tak ada
tandingannya. Aku tak memikirkan betapa kesalnya mereka karena terus-terusan
mendengar ocehanku.
Kami mampir disebuah warung pecel
lele di pinggir jalan. Seperti biasa, setelah memesan makanan sang pemilik
warung menyediakan satu gelas teh hangat untuk setiap pembeli. Semua
mendapatkan minuman hangat mereka kecuali aku. Sang penjual salah menghitung
jumlah pembelinya. Kesalkupun bertambah.
Tiba-tiba Dina menyodorkan gelas
teh hangatnya kepadaku.
“Ini buat Kiki dulu, minum dulu
biar tenang,” ujarnya.
Aku mengambil gelas itu tanpa
berkata-kata. Tak lama kemudian pesanan makanan kami siap disantap. Dina
lagi-lagi mengajakku berbincang.
“Mau kerupuk, Ki? Dina ambilin kalau mau,” tawarnya.
Bukannya mengangguk atau memberi
jawaban pasti, aku malah menangis. Amarah yang hampir mengkristal di hatiku,
seketika pecah berserak tak bersisa.
“Kenapa? Udah jangan nangis, makan
yuk sekarang,” ajak Dina sambil menyerahkan kerupuk padaku.
Sialnya, air mataku malah
bertambah deras. Sesaat kemudian aku mulai tenang. Menghentikan tangisku dan
ikut makan seperti teman-temanku yang lain. Pastinya dengan kondisi lebih
tenang dan tak merasa kesal lagi. Setengah jam berlalu, kami meninggalkan
warung pecel lele itu.
“Makasih Dina,” kataku.
Dina hanya tersenyum cengengesan
seperti biasanya. Selalu, ia selalu tersenyum seperti itu sambil berkata, “Apa sih kamu, biasa aja.”
Rasanya baru kali itu ada orang
yang tetap bersikap baik padaku walaupun aku sudah marah-marah padanya. Rasanya
baru kali itu ada orang yang tetap tersenyum menawarkan bantuannya untukku saat
aku kesal dan mengesalkan. Rasanya aku diperintahkan Tuhan belajar menjadi baik
seperti Dina atau mungkin orang-orang baik lainnya. Ah, Tuhan.. Kau selalu tahu
diri ini selalu bebal bila hanya mendengar nasehat-nasehat yang berseliweran
indah di telinga.
Terimakasih Dina
0 comments:
Post a Comment