Sabar. Entah mengapa aku tak
terlalu suka kata ini muncul dalam percakapanku terutama saat aku sedang marah.
Aku selalu berusaha untuk sabar tapi nyatanya letupan-letupan kekesalan masih
saja sulit untuk direduksi apalagi diredam adanya. Maka saat orang lain
menenangkanku sambil berkata, “sabar Ki,” bukan menenangkanku malah sebaliknya.
Membuatku kembali geram. Aneh ya? Aku juga merasa ini aneh. Stabilitas emosiku
rasanya masih belum baik. Tapi benar kata pepatah yang mengatakan bahwa awal
kemarahan adalah kegilaan dan akhirnya adalah penyesalan. Setiap kali marah,
pasti akhirnya menyesal telah menancapkan beberapa paku tajam di hati
orang-orang yang baik padaku.
Perjuangan. Tak ubahnya kata
sabar bagiku, kata perjuangan juga terlalu istimewa penggunaannya. Bagi
beberapa orang mungkin perjuangan adalah kata yang begitu menggairahkan.
Bagiku, kata perjuangan membuatku bertanya-tanya kembali, apakah hal yang
kulakukan atau mereka lakukan itu benar-benar perjuangan? Memperjuangkan siapa?
Benarkah cara perjuangan itu? Entahlah, aku tak tahu. Dipikiranku yang kosong
ini, perjuangan itu lebih layak disandingkan dengan usaha kemerdekaan para
leluhur bangsa, usaha menyadarkan manusia oleh para nabi, usaha para pembela
kebenaran. Ah ya, apalah arti kebenaran kini? Semua kebenaran subjektif yang
diamini oleh banyak orang menjadi kebenaran objektif yang jadi panutan.
Sebenarnya ketidaksukaanku
terhadap penggunaan kata-kata itu juga tak beralasan kuat. Hanya dikarenakan
subjektifitas yang menguasai otak dan persepsiku. Sebenarnya tak pernah ada
alasan kuat untuk membenci, karena mungkin saja akan ada alasan kuat untuk
mencintai hal yang sebelumnya kubenci. Bisa saja entah hari apa, purnama
keberapa, di waktu seperti apa akhirnya aku bisa menerima pemahaman orang lain
tentang dua kata yang tak kusukai ini. Kapan masa itu datang? Entahlah.
0 comments:
Post a Comment