Sore itu memang mengasyikkan.
Kami menduga-duga interpretasi dari bercak-bercak tinta yang ada di depan kami.
Kami sedang belajar tes kepribadian proyektif yang tersohor sulit untuk
dipelajari. Namanya tes Rorscach alias Ro. Setiap jawaban ditransformasi menjadi
kode-kode skoring tertentu dan sedikit banyak mencerminkan kepribadian orang
tersebut. Sulit, namun mengasyikkan. Belajar tes-tes psikologi selalu membuatku
merasa beruntung mempelajari teori-teori kepribadian dan teori-teori psikologi
lainnya sebelumnya. Intinya, sore dimana kami belajar bersama dalam kelas Ro
selalu menyenangkan.
Tapi yang akan kuceritakan bukan
tentang interpretasi Ro ataupun administrasi tesnya. Tapi tentang dua orang
teman dekatku di kelas itu, Eli dan Nisa. Eli biasa kupanggil Mamen karena
kebiasaannya menambahkan kata itu dibelakang percakapan dalam bahasa inggris
saat kami kursus bahasa Inggris di tingkat satu. Nisa sering kupanggil Teh Nisa
karena penampilannya yang terlihat kalem dan lembut, padahal aslinya jauh dari
penampilannya. Haha.
Singkat cerita, kelas Ro selesai
15 menit setelah adzan maghrib berkumandang. Kami bergegas untuk meninggalkan
ruangan kelas. Entah mengapa rasanya ingin sekali kuperiksa keberadaan dompetku
saat itu. Kucoba merogoh saku, yang kutemukan hanya uang dua ribu. Kucoba
periksa semua sisi dalam tas ranselku. Hasilnya nihil. Sepertinya dompetku
jatuh entah dimana.
Eli dan Nisa bertanya apa yang
sedang kulakukan, aku menjawab apa adanya. Mereka kaget dan ikut kebingungan.
Lucunya, saat ekspresi kaget dan bingung mereka muncul, mereka sama-sama
mengecek saku dan dompet. Berusaha membantuku yang bodohnya hanya cengengesan
tak punya solusi.
Mereka mengeluarkan uang yang ada
di dalam dompet. Memisahkan beberapa lembar untuk ongkos pulang lalu memberikan
sisanya kepadaku.
“Eli belum ambil uang di ATM,
Ki,” kata Eli.
“Aku gak bawa dompet yang satu lagi, Ki. Adanya segini doang,” kata Nisa.
Sungguh aku tak pernah meminta
mereka untuk meminjamkan uang padaku. Aku berceritapun memang karena hanya
ingin bercerita saja. Kini aku kebingungan dan kaget karena tindakan mereka
yang langsung patungan saat mendengar ceritaku.
“Cukup gak, Ki?” tanya mereka berbarengan.
Aku hanya tertawa. Kocak.
Aku mengangguk dan berterimakasih
kepada mereka karena berkat mereka aku bisa pulang ke rumah. Andai saja rumahku
dekat dengan kampus dan hanya membutuhkan ongkos dua ribu, mungkin kejadian ini
tak akan pernah terjadi. Beberapa hari setelah kejadian itu, mereka berdua
kerap menanyaiku hal yang sama sebagai candaan : “Bawa dompet kan, Ki? Atau kita harus patungan lagi?”
Tuhan, Kau selalu baik. Lagi-lagi
mempertemukanku dengan orang-orang baik. Terimakasih.
0 comments:
Post a Comment