Beberapa minggu yang lalu, em mungkin sebulan yang lalu seorang teman nun jauh disana bercerita tentang rencana pernikahannya. Ia akan menikah dengan orang yang juga kukenal. Aih, rasanya bahagia sekali dan siapa yang tahan untuk tidak menggoda? Haha.
Nyatanya godaanku berakhir dengan cerita panjang tentang banyak hal yang membuatnya dilema. Kau pasti sadar bahwa menikah dan berbagai hal yang berkaitan dengannya adalah hal yang sangat sensitif dan membuat hati kebat kebit tak karuan. Hati sang calon mempelai laki-laki kebat kebit mempersiapkan diri baik materi maupun non-materi untuk acara sakral ini. Hati sang calon mempelai wanita kebat kebit mempersiapkan diri baik fisik maupun rohani untuk menerima perubahan penanggungjawab kehidupannya. Hati kedua keluarga kebat-kebit tentang banyak hal tentang putra/putri mereka. Ah ya, pernikahan tak pernah terasa sederhana.
Sebanding. Katanya, kondisi kedua calon harus sebanding. Bibit, bebet, bobot. Ini yang seringnya menjadi masalah. Karena menikah bukan hanya bersatu dengan sang pujaan hati, tapi juga keluarganya lengkap dengan jaringan mereka dan berbagai masalahnya. Begitupun dengan berbagai standar yang mereka buat untuk mengotak-ngotakkan manusia dari latar belakangnya, baik ekonomi, sosial, budaya dan sebagainya.
Pernikahan yang dianggap sakral sering membuat banyak orang menetapkan perbandingan yang dipaksakan terhadap orang lain. Melupakan bahwa standar mereka tak ubahnya rintangan tajam di medan latihan yang tak bisa memastikan kekuatan mental saat para prajurit berhadapan langsung dengan lawana. Mereka lupa, standar mereka bisa saja membuat hidup orang lain tak berbahagia. Mereka lupa, masih banyak orang yang ingin bersatu karena cinta. Ah, apalah cinta di mata mereka?
Temanku orang berada dengan hati serendah bumi. Ia ingin pernikahannya diselenggarakan sesederhana mungkin, sesyahdu mungkin, sepersonal mungkin. Tapi pernikahan tidak pernah semudah yang ia bayangkan. Em, ataukah seharusnya menikah tak sesulit itu? Entah.
"Kau lebih pantas untuk mendapatkan yang lebih darinya," ujar kolega orang tuanya kepada temanku itu.
Dengungan merekalah yang membuat temanku jengah. Beragam hembusan 'busuk' mereka menelusup ke telinga orang tuanya. Mendengarnya hati temanku itu remuk. Ia yang biasanya tak banyak berkomentar, mulai beberapa kali berdebat tak karuan. Ketakutan menyelimutinya.
"Aku takut kami tidak jadi menikah, Ki. Aku takut Mas X lelah dengan semua problema ini. Aku takut aku tidak bisa bersatu dengannya."
Saya hanya bisa terdiam. Kebingungan menyusun kata yang patut dan cocok untuk situasi seperti ini.
"Aku kesal. Tak usahlah undang pejabat yang tak kutahu namanya. Untuk apa? Apa pentingnya bagi hidupku dan hidup suamiku nanti? Apa pentingnya pernikahan di gedung megah yang menghabiskan biaya lebih dari tujuh digit angka? Apa sakralnya pernikahan yang bisa mengundang ribuan orang? Memangnya siapa aku? Artis? Anak Presiden? Aku ingin segera pergi dari banyak standar itu, Ki. Aku lelah. Aku ingin semua ini dilaksanakan segera, tapi untuk mencapai kesana aku perlu menunggu menunggu berlalunya belasan purnama. Aku takut Mas X lelah, Ki. Aku takut akhirnya aku menyerah."
Sebanding. Sungguh perbandingan tak akan habis untuk dibahas dengan jelas. Orang tua mencintai anaknya, begitupun sebalinya. Anaknya mencintai orang lain, begitupun sebaliknya. Orang itu dicintai orang tuanya, begitupun sebaliknya. Cinta memang tak pernah bisa dibandingkan. Ekspresinya terkadang bertolak belakang. Perdebatan bukan bukti ketiadaan cinta, bahkan kabarnya lebih sering menjadi bukti adanya cinta.
Pernikahan memang menjadi momen yang diharapkan bisa sebanding dengan apa yang diharapkan. Semua orang bahagia disana, baik pengantin, keluarganya bahkan para tamu yang hadir disana. Sampai disini saya tidak bisa berkomentar apapun tentang kejadian yang menimpanya. Terlalu banyak simbol dari beragam tradisi yang tak kupahami. Terlalu banyak harapan yang tak bisa kukenali. Terlalu banyak hal yang tak pernah kualami. Saya hanya bisa mendoakan: semoga kau bisa melewatinya dan kebahagiaanmu kedepannya bisa sebanding dengan pengorbanan hati, pikiran maupun waktu yang telah kau habiskan selama menunggu semua ini menjadi nyata.
0 comments:
Post a Comment